Senin, 15 November 2010

APEC, Mencari Arah Baru di Jepang

APEC, Mencari Arah Baru di Jepang
KOMPAS Senin, 15 November 2010 | 04:40 WIB
Lepi T Tarmidi

Jepang menjadi tuan rumah pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik ke-18 dengan tema ”Change and Action”. Pertemuan puncak akan berlangsung 13-14 November di Yokohama.
Tema ini dipilih karena bagian pertama sasaran APEC yang tertuang dalam Bogor Goals 1994 sudah pasti tidak tercapai. Sasaran itu adalah perdagangan dan investasi bebas di wilayah Asia-Pasifik, selambat-lambatnya tahun 2010 bagi anggota yang industrinya maju dan tahun 2020 bagi yang masih berkembang.
Kemandekan liberalisasi perdagangan dan investasi di APEC membuat para pemimpin ekonomi APEC mendeklarasikan Busan Roadmap to the Bogor Goals di Korea tahun 2005 dan Hanoi Action Plan tahun berikutnya di Vietnam. Ini karena tingkat liberalisasi negara-negara maju anggota APEC berjalan terlalu lambat. Karena itu, Jepang sebagai tuan rumah membuat penilaian tentang sejauh mana kemajuan perekonomian dan hambatannya, serta kemungkinan untuk merevisi Bogor Goals.
Kalangan pebisnis yang bergabung dalam APEC Business Advisory Council (ABAC) juga sudah lama merasakan kebuntuan dalam proses liberalisasi APEC. Karena itu, tahun 2004 mereka menggagas Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP).
Kegiatan APEC yang bersifat legally non-binding dinilai tidak membawa kemajuan, sementara suatu kawasan perdagangan bebas (FTA) sifatnya mengikat atau legally binding. Untuk melaksanakan liberalisasi perdagangan dan investasi, APEC mempunyai tiga pilar kebijakan, yakni (1) liberalisasi perdagangan dan investasi, (2) memfasilitasi bisnis, dan (3) kerja sama ekonomi dan teknik. Kemudian ada Collective Action Plan dan Individual Action Plan, serta Assessment Review Mechanism.
Untuk menembus kebuntuan, pertemuan puncak tahun 1997 di Kanada mencetuskan Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL). EVSL dicoba diterapkan di sembilan sektor pada pertemuan berikutnya di Kuala Lumpur, di antaranya otomotif. Namun, upaya ini mandek.
Tahun 2001 di Shanghai, China, APEC memperkenalkan APEC Pathfinder Initiative. Intinya, inisiatif yang diambil APEC dapat segera dimulai tanpa harus menunggu anggota perekonomian yang belum siap.
Keberhasilan APEC
Banyak petinggi APEC membanggakan keberhasilan liberalisasi perdagangan. Misalnya, pada kurun waktu 19 tahun tarif rata-rata yang berlaku di APEC turun dari 16,9 persen tahun 1989—ketika APEC berdiri— menjadi 6,6 persen tahun 2008.
Nilai perdagangan barang dan jasa naik dari 3 triliun dollar AS menjadi 17 triliun dollar AS dan perdagangan barang intra-APEC naik dari 1,7 triliun dollar AS menjadi 9,3 triliun dollar AS (Committee on Trade and Investment Report, 5/8/10).
Apakah keberhasilan ini karena APEC semata atau hal-hal lain, mengingat keterbatasan instrumen APEC? Kenyataannya, pertama perdagangan akan meningkat alamiah tanpa pembentukan kawasan perdagangan bebas karena pelaku bisnis akan mencari jalan sendiri. Perjanjian perdagangan bebas untuk memicu pertumbuhan lebih cepat.
Kedua, penurunan tarif yang relatif besar terjadi karena komitmen negara-negara anggota WTO. Semua anggota perekonomian APEC, kecuali Rusia, adalah anggota WTO.
Hasil yang disepakati dari Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tahun 1994 adalah: (1) penurunan tarif sepertiga dari tingkat tarif bagi negara maju dan negara sedang berkembang mematok tarif rata-rata pada tingkat maksimum 40 persen; (2) menghapus semua hambatan nontarif dan menggantikannya dengan hambatan tarif; (3) mengikat semua tingkat tarif bagi negara-negara maju dan bagi negara-negara sedang berkembang boleh tidak mengikat sebanyak-banyaknya 5 persen; (4) menghapus kuota dalam perdagangan tekstil dan pakaian jadi secara bertahap hingga 2005.
Sebagai hasilnya negara-negara maju menurunkan tarif rata-rata dari 6,2 persen tahun 1995 menjadi 3,7 persen tahun 2005, sementara negara-negara sedang berkembang dari rata-rata 20,5 persen menjadi 14,4 persen dan Indonesia dari rata-rata 16,4 persen menjadi 7,8 persen.
WTO adalah lembaga penerus GATT dan kesepakatan dalam WTO mengikat dan dilaksanakan semua anggota. Komitmen yang sama ini kemudian dibawa ke APEC. Jadi, keberhasilan penurunan tarif adalah dalam WTO, bukan APEC.
Ketiga, APEC bertujuan memengaruhi keberhasilan proses liberalisasi perdagangan dan investasi di WTO. Perekonomian APEC yang menjadi anggota WTO hanyalah 20, sementara WTO beranggotakan 151 negara. Semua negara anggota mematuhi keputusan WTO.
APEC dan WTO
APEC gagal memengaruhi kemajuan di WTO. Berkali-kali para pemimpin perekonomian APEC mengimbau anggota untuk menyukseskan perundingan Doha Development Agenda, tetapi hingga kini DDA macet dan mempersulit liberalisasi perdagangan dan investasi di APEC.
Keempat, salah satu tujuan APEC adalah mencapai WTO Plus yang berarti liberalisasi penuh minus komitmen WTO. Makin jauh program liberalisasi dari komitmen WTO, semakin sulit pencapaiannya karena menyangkut sektor-sektor yang sensitif. Dengan hanya unilateral actions yang non-binding rasanya sulit mencapai Bogor Goals.
Kelima, APEC semakin lama semakin tidak fokus pada Bogor Goals karena setiap tahun muncul agenda baru. Sekarang program kerja APEC bukan hanya perdagangan dan investasi saja, tetapi juga masalah gender, lingkungan, kesehatan, terorisme, sehingga Bogor Goals tersingkir.
Keenam, maraknya pembentukan kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik menghapuskan hampir semua hambatan tarif dan nontarif sehingga memicu peningkatan volume perdagangan. Kebetulan negara-negara ini adalah anggota APEC. Artinya, perhatian lebih dicurahkan pada persetujuan perdagangan bebas daripada ke APEC.
Sebelum pencanangan Bogor Goals 1994 di kawasan APEC sudah ada kawasan perdagangan bebas seperti Australia-New Zealand Closer Economic Relations and Trade Agreement (ANZERTA), Australia-Papua New Guinea FTA (PATCRA), ASEAN FTA (AFTA), dan North American FTA (NAFTA).
Setelah 1994, lebih banyak lagi dibentuk persetujuan perdagangan bebas, baik secara subregional maupun secara bilateral. Subregional, misalnya, antara ASEAN dan China, Korea dan Jepang. Yang bilateral misalnya Jepang dengan Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Semua itu menunjukkan bahwa proses liberalisasi APEC tidak memenuhi harapan perekonomian anggota APEC sehingga masing-masing mencari jalan sendiri-sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Seandainya liberalisasi APEC bisa mencapai sasaran dan memenuhi kebutuhan masing-masing negara, maka segala macam bentuk persetujuan perdagangan bebas subregional dan bilateral tidak perlu ada.

Lepi T Tarmidi Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar