Senin, 01 November 2010

MENJAGA GLOBALISASI EKONOMI AGAR TETAP SANTUN

dimuat di
Majalah Edukasi Keuangan
(BPPK Kementerian Keuangan)
Edisi September 2010



MENJAGA GLOBALISASI EKONOMI AGAR TETAP SANTUN


Globalisasi, dunia yang borderless  atau tanpa batas tak dapat dihindari lagi. Frederick Ratzel dalam teori geopolitik menyatakan bahwa negara pada dasarnya sama dengan organisme atau makhluk hidup. Charles Darwin dengan teori evolusi menyebutkan bahwa “bukan siapa yang kuat namun siapa yang tanggap” yang akan bertahan. Bukan negara yang kuat yang akan bertahan namun negara yang tangggap. Fakta telah membuktikan teori-teori itu. Uni Soviet yang begitu perkasa, ternyata tidak dapat melewati ulang tahunnya yang ke-100. Keperkasaan itu sirna dan tidak dapat bertahan sebagaimana  si “tanggap”.
Saat ini dunia sedang berpacu menuju “kesejahteraan umat manusia” dengan lomba menghadirkan barang yang berkualitas  dengan harga murah melalui perdagangan bebas. Semangat perdagangan bebas mengharuskan produsen mesti efisien dalam berpoduksi untuk menekan harga jual. Produsen yang tidak mampu menjual barang dengan harga murah akan kalah bersaing melawan produsen yang efisien hingga mampu menjual barang dengan harga lebih murah. Persaingan itu, tidak lagi hanya berlingkup nasional. Seluruh dunia telah menyatu. Tidak dapat dihindari, siapapun harus menghadapi persaingan di tingkat internasional.
Secara umum tidak ada lagi diskriminasi terhadap barang impor. Semua barang harus mendapat perlakuan sama. Barang impor diperlakukan sama dengan produk lokal terutama dari segi perpajakan atau pungutan negara. Konsumen diuntungkan dengan hadirnya produk murah, sementara produsen harus selalu memutar otak untuk makin mengifisienkan proses produksinya.

Instrumen Pengaman Perdagangan
Kemestian jaman yang tak terhindarkan ini, bila tidak diatur atau diawasi bisa menyebabkan hancurnya perekonomian dunia akibat praktik yang tidak fair. Bahkan bila telah diatur pun, persaingan global ini sangat potensial  memunculkan sengketa. Pelaku industri dengan dukungan negara masing-masing pasti memiliki kepentingan yang dapat membiaskan norma dan peraturan yang telah digariskan.
World Trade Organisation (WTO) sebagai kelanjutan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1994, dibentuk dengan tujuan sebagai wadah dalam mendorong  terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur penghambat yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal (Chsritophorus Barutu, 2007:3). Perdagangan  internasional diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditanda tangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan itu bersifat mengikat dan harus dipatuhi negara anggota.
            Persetujuan yang dilakukan dalam WTO dilandaskan pada beberapa  prinsip dasar sebagai berikut:
  1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN). Penerapan perlakuan yang sama tersebut dilaksanakan dengan segera dan tanpa syarat.
  2. Pengikatan tarif (tariff  binding). Anggota WTO tidak boleh mengubah atau menaikkan tarif bea masuk impor barang secara sewenang-wenang.
  3. Perlakuan nasional (national treatment). Prinsip ini merupakan prinsip non diskriminasi, tidak boleh ada perbedaan perlakuan atas barang impor dan barang produk lokal.
  4. Perlindungan hanya melalui tarif. Negara anggota dimungkinkan untuk melindungi produksi domestiknya namun perlindungan itu hanya dapat dilakukan melalui mekanisme tarif yaitu menaikkan tarif bea masuk impor barang.
  5. Pemberian perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Semua persetujuan WTO memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi negara berkembang dengan tujuan memberi kemudahan negara berkembang untuk melaksanakan persetujuan WTO (Christophorus Baruru, 2007:28)
            Selain beberapa  prinsip dasar itu, WTO mengatur beberapa pengecualian. Suatu negara dapat melakukan hambatan perdagangan berkaitan dengan perlindungan kesehatan, perdagangan barang yang bertentangan dengan moral, konservasi hutan, dan pencegahan perdagangan barang bernilai budaya. Negara anggota diperkenankan mengenakan tindakan berupa pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan dan bea masuk tindakan pengamanan serta tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment.

Ketentuan Antidumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (safeguard)
            Pada dasarnya suatu negara  tidak diperkenankan menerapkan tarif bea masuk  yang berbeda atas barang impor dari negara yang berbeda. Ketentuan itu mendapat pengecualian dengan adanya pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan dan bea masuk tindakan pengamanan. Pengecualian ini dibentuk untuk mengatasi  persaingan tidak sehat dan perlindungan terhadap produk lokal/domestik agar suatu negara terhindar dari kehancuran ekonomi yang tidak dikehendaki dan justru bertentangan dengan prinsip dasar WTO.
            Dumping merupakan strategi dagang dari pengekspor untuk menjual barang ekspor dengan harga lebih murah dibanding nilai normal atau harga jual di pasar domestiknya. Praktik ini berpotensi merugikan atau bahkan mematikan industri barang serupa di negara pengimpor. Suatu negara dapat mengenakan bea masuk antidumping bila telah terbukti adanya 3 hal di pasar domestik, yaitu :
  1. adanya barang dumping;
  2. adanya kerugian yang diderita industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis;
  3. kerugian tersebut disebabkan oleh barang dumping/hubungan kausal (Sugeng Santosa,2009)
            Bea masuk antidumping pada dasarnya berfungsi mengembalikan harga barang dumping pada nilai normalnya atau harga yang wajar sesuai yang nyata terjadi di negara pengekspor. Bea masuk antidumping dipungut pada saat pengimporan bersamaan dengan pemungutan bea masuk yang melekat pada barang impor sesuai buku tarif bea masuk Indonesia.
            Bea masuk imbalan dikenakan bila terdapat barang impor yang mengandung subsidi dari negara pengekspor. Barang mengandung subsidi dimaksud tentu dijual dengan harga yang lebih rendah dibanding barang sejenis yang tidak disubsidi. Sugeng Santoso (2009) menguraikan bahwa bea masuk imbalan dikenakan dengan terlebih dahulu dilakukan penyelidikan untuk membuktikan adanya 3 hal di pasar domestik Indonesia:
  1. adanya barang mengandung subsidi
  2. adanya kerugian yang diderita industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, dan
  3. kerugian tersebut disebabkan oleh adanya barang mengandung subsidi (hubungan kausal)
Bea masuk tindakan pengamanan bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dari lonjakan barang impor yang merugikan atau mengancam terjadinya kerugian pada industri dalam negeri. Tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk menghindari keadaan ketika  anggota WTO menghadapi dilema antara membiarkan pasar dalam negeri sangat terganggu oleh melonjaknya barang impor atau menarik diri dari kesepakatan WTO (keluar dari keanggotaan) (Christophorus Baruru, 2007:102)
Article XIX GATT menerangkan bahwa penerapan tindakan pengamanan memperhatikan syarat-sayarat sebagai berikut:
1.    adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development),
2.    adanya lonjakan impor yang berlebihan,
3.    mengakibatkan kerugian atau ancamam kerugian yang serius pada industri dalam negeri
Tindakan safeguard dapat dilakukan dengan pengenaan bea masuk tindakan pengamaan atau dalam bentuk pemberlakuan kuota, pengenalan perijinan, kewenangan impor dan tindakan lain yang serupa untuk mengendalikan impor. Tindakan safeguard yang paling ekstrem adalah penetapan larangan impor atau pemberlakukan kuota nol. Termasuk dalam bentuk kebijakan perlindungan nontarif antara lain, kebijakan pembelian pemerintah (government procurement), pemberian subsidi pada kegiatan ekspor barang industri dalam negeri melalui sertifikat ekspor, perlindungan industri kecil terhadap saingan industri berskala besar atau menengah serta kebijakan pencadangan bidang usaha industri (Christophorus Barutu, 2007:117).

Daya Saing Industri
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa kemestian jaman yang menyatu dalam globalisasi dan perdagangan bebas sudah tidak dapat dihindari lagi. Indonesia mesti tanggap dengan jaman baru ini. Saat ini Indonesia telah terikat dalam perdagangan bebas dalam beberapa kesepakatan internasional. Asean telah menjadi  kawasan perdagangan bebas sejak 2002. Indonesia juga aktif terlibat dalam blok perdagangan bebas terbesar dunia yaitu Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Indonesia bersama-sama dengan negara Asean lain telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea Selatan, Jepang  (Asean+3) dan India. Perluasan kesepakatan perdagangan bebas bahkan terus dikembangkan antara Asean dengan Uni Eropa (27 negara) serta dengan Australia dan New Zealand. Masing-masing kesepakatan itu telah terjadwal hingga pada akhirnya nanti tampaknya seluruh dunia menyatu sebagai area perdagangan bebas.
Fenomena menarik mengemuka pada pemberlakukan efektif Asean-China Free Trade Area (ACFTA) tanggal 1 Januari 2010, beberapa pihak minta penundaan pemberlakuan itu. Presiden menilai permintaan itu semata sebagai sikap nasionalisme sempit dari sebagian kalangan yang tidak siap bersaing. Banyak kalangan  menyatakan bahwa ketidaksiapan industri mengahadapi China bukan semata ketidakmampuan usahawan. Rendahnya daya saing industri Indonesia disebabkan oleh permasalahan seperti :
1.    Keterbatasan suplai energi,
2.    Biaya yang tidak bersaing,
3.    Sistem dan aturan ketenagakerjaan,
4.    Infrastruktur jalan dan pelabuhan,
5.    Prosedur kepabeanan serta kinerja birokrasi yang menghambat arus barang,
6.    Akses pendanaan yang terbatas, dan
7.    Bunga kredit yang tidak bersaing (Doty Damayanti, 2009).
Nampaknya sikap aktif pemerintah dalam mempromosikan dan melibatkan diri dalam berbagai kesepakatan perdaganan bebas tidak sepenuhnya diikuti kesiapan dunia industri. Namun sayang sekali bila ketidaksiapan industri itu terjadi justru karena pemerintah yang tidak tanggap pada kebutuhan industri. Tujuh permasalahan di atas merupakan tanggung jawab atau setidaknya sangat dipengaruhi oleh instansi pemerintahan. Kesenjangan sikap pemerintah ini mesti segera diakhiri. Jangan sampai perdagangan bebas yang telah menjadi kemestian yang tidak dapat dihindari ini justru membawa dampak negatif. Perdagangan bebas dengan tujuan dasar untuk membawa seluruh umat manusia bisa menikmati barang berkualitas dengan harga murah ini semoga tidak mengakibatkan industri kita terpuruk kalah bersaing karena aparat pemerintah yang tidak tanggap.
Reformasi birokrasi jilid kedua semoga bisa menjadi salah satu jawaban atas kerisauan ini.

REFERENSI

Anna Maria Rosario D. Robeniol. Developments in The Aean-China Free Trade Agreement. Bahan pada Seminar on The Implementation of The Asean-China Free Trade Area di Yogyakarta tanggal  6 November 2009
Christophorus Barutu. 2007. Ketentuan Antidumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: Citra Aditya Bakti
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 1999. World Trade Organisation, Menuju Perdagangan Masa Depan. Jakarta
Doty Damayanti. “FTA, Industri, dan Kelemahan Diplomasi” Kompas. Senin 21 Desember 2009. hal 34
Huala Adolf. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers
No name. Terjemahan Resmi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay
Sugeng Santoso. “Mengapa PP Nomor 34 Tahun 1996 dapat Berlaku bagi Penyelidikan Ani Dumping dan Anti Subsidi?”. Warta Bea Cuka.i Tahun XL Edisi 418 September 2009

1 komentar:

  1. Mengantisipasi Jantung Lemah Pada Bayi, obat jantung koroner, obat jantung bengkak, obat jantung alami, obat jantung herbal, obat jantung lemah, obat jantung bocor, obat jantung alami dari tumbuhan, obat jantung koroner paling ampuh, obat jantung icp, obat jantung koroner herbal, obat jantung generik (kunjungi) Lemah Jantung dan Cara Mengatasi

    BalasHapus