Senin, 01 November 2010

ACFTA, KEMESTIAN YANG DITINJAU ULANG

Pendapat pribadi
tidak dipublikasikan




ACFTA, KEMESTIAN YANG DITINJAU ULANG
Budi Nugroho
Widyaiswara Badan Diklat Departemen Keuangan
(tulisan merupakan  pendapat pribadi)


Setelah mengadakan pertemuan dengan  pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Bogor tanggal 21 Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan akan meninjau kembali implementasi Asean China Freea Trade Area( ACFTA) yang mulai diimplementasikan 1 Januari 2010. Dengan implementasi itu maka barang impor dari China akan mendapat keistimewaan berupa  penurunan tarif bea masuk impor atas 1.516 pos tarif dari sebelumnya 5% menjadi 0%. Dari jumlah itu sebanyak 228 pos tarif diusulkan untuk dipertimbangkan lagi mengingat industri domestik bersangkutan merasa belum siap bersaing.
Keraguan dunia usaha menghadapi implementasi ACFTA sebenarnya sudah cukup lantang terdengar pada awal Desember tahun lalu. Banyak kalangan  menyatakan bahwa ketidaksiapan industri mengahadapi China bukan semata ketidakmampuan usahawan dan berharap penundaan implementasi. Presiden menilai permintaan itu semata sebagai sikap nasionalisme sempit dari sebagian kalangan yang tidak siap bersaing.
Bahkan pada tanggal 15 Desember Menko Perekonomian menegaskan Indonesia akan melaksanakan komitmen sesuai perjanjian para pemimpinnya. Perjanjian ACFTA disepakati tahun 2004 setelah dicetuskan oleh Perdana Menteri China Zhu Rongji pada tahun 2000  pada Pertemuan Puncan ASEAN.
Sinyal pesimis menghadapai implementasi sebenarnya sudah disampaikan Kementrian Perindustrian pada  Agustus 2009 yang jujur menyatakan kekhawatiran akan munculnya dampak negatif. Sayangnya kekhawatiran ini tidak diteruskan dengan langkah konkret, walaupun sudah dirasa terlambat.
Nampaknya  kebiasaan untuk terkaget-kaget dan sibuk pada last minute tetap terpelihara oleh segenap komponen negeri ini meski sebenarnya sudah tahu dan dapat memprediksi apa yang akan segera dihadapi. Persiapan menuju implementasi ACFTA mestinya sudah dimulai sejak perjanjian tahun 2004 itu disepakati. Bahkan sebenarnya kita memiliki pengalaman mempersiapkan diri menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA)  yang dimulai tahun 2003.

Bukan Si Kuat tapi Si Tanggap

Apakah keputusan Pemerintah meninjau kembali ACFTA pantas diapresiasi sebagai bentuk respon bagi dunia usaha di Indonesia? Nampaknya persoalan tidak akan sesederhana itu. Penundaan ACFTA akan memberikan citra tidak baik bagi Indonesia di mata dunia. Kepercayaan terhadap Indonesia akan menurun. Dan repotnya ini terjadi bersamaan dengan sikap optimis pemerintah untuk mengembangkan FTA dengan negara-negara lain. Indonesia juga aktif terlibat dalam blok perdagangan bebas terbesar dunia yaitu Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Indonesia bersama-sama dengan negara Asean lain telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea Selatan, Jepang  (Asean+3) dan India. Perluasan kesepakatan perdagangan bebas bahkan terus dikembangkan antara Asean dengan Uni Eropa (27 negara) serta dengan Australia dan New Zealand.
Peninjauan kembali implementasi ACFTA menjadi langkah mundur yang mestinya tidak terjadi bila  semua pihak mempersiapkan diri secara nyata. Perdagangan bebas merupakan kemestian jaman yang tidak dapat dihindari. Siap atau tidak, perdagangan bebas itu harus dijalani. Frederick Ratzel dalam teori geopolitik menyatakan bahwa negara pada dasarnya sama dengan organisme atau makhluk hidup. Charles Darwin dengan teori evolusi menyebutkan bahwa “bukan siapa yang kuat namun siapa yang tanggap” yang akan bertahan. Bukan negara yang kuat yang akan bertahan namun negara yang tangggap. Fakta telah membuktikan teori-teori itu. Uni Soviet yang begitu perkasa, ternyata tidak dapat melewati ulang tahunnya yang ke-100. Keperkasaan itu sirna dan tidak dapat bertahan sebagaimana  si “tanggap”.

Langkah Nyata

Semangat perdagangan bebas mengharuskan produsen mesti efisien dalam berpoduksi untuk menekan harga jual. Produsen yang tidak mampu menjual barang dengan harga murah akan kalah bersaing melawan produsen yang efisien hingga mampu menjual barang dengan harga lebih murah. Persaingan itu, tidak lagi hanya berlingkup nasional. Sayang sekali bila ketidakmampuan usahawan untuk bersaing di tingkat dunia itu diakibatkan oleh masalah PR pemerintah yang tidak kunjung selesai. Suplai energi terbatas, iklim ketenagakerjaan yang tidak kondusif, infrastruktur yang buruk, birokrasi yang mahal, akses pendanaan terbatas serta bunga kredit yang tinggi.
Nampaknya sikap aktif pemerintah dalam mempromosikan dan melibatkan diri dalam berbagai kesepakatan perdaganan bebas tidak sepenuhnya diikuti dengan mendukung dan memfasilitasi industri secara  memadai. Sayang sekali bila ketidaksiapan industri itu terjadi justru karena pemerintah yang tidak tanggap pada kebutuhan industri. Kesenjangan sikap pemerintah ini mesti segera diakhiri. Jangan sampai perdagangan bebas yang telah menjadi kemestian yang tidak dapat dihindari ini justru membawa dampak negatif. Perdagangan bebas dengan tujuan dasar untuk membawa seluruh umat manusia bisa menikmati barang berkualitas dengan harga murah ini semoga tidak mengakibatkan industri kita terpuruk kalah bersaing karena aparat pemerintah yang tidak tanggap.
Peninjauan ulang implementasi ACFTA tidak akan bermakna bila tidak disertai langkah konkret. Langkah mendesak itu setidaknya meliputi tiga hal yaitu pangkas birokrasi yang berbelit dan mahal, perbaiki aturan dan iklim ketenagakerjaan serta perbaiki institusi perbankan hingga menjadi efisien dan memangkas bunga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar