Senin, 15 November 2010

APEC, Mencari Arah Baru di Jepang

APEC, Mencari Arah Baru di Jepang
KOMPAS Senin, 15 November 2010 | 04:40 WIB
Lepi T Tarmidi

Jepang menjadi tuan rumah pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik ke-18 dengan tema ”Change and Action”. Pertemuan puncak akan berlangsung 13-14 November di Yokohama.
Tema ini dipilih karena bagian pertama sasaran APEC yang tertuang dalam Bogor Goals 1994 sudah pasti tidak tercapai. Sasaran itu adalah perdagangan dan investasi bebas di wilayah Asia-Pasifik, selambat-lambatnya tahun 2010 bagi anggota yang industrinya maju dan tahun 2020 bagi yang masih berkembang.
Kemandekan liberalisasi perdagangan dan investasi di APEC membuat para pemimpin ekonomi APEC mendeklarasikan Busan Roadmap to the Bogor Goals di Korea tahun 2005 dan Hanoi Action Plan tahun berikutnya di Vietnam. Ini karena tingkat liberalisasi negara-negara maju anggota APEC berjalan terlalu lambat. Karena itu, Jepang sebagai tuan rumah membuat penilaian tentang sejauh mana kemajuan perekonomian dan hambatannya, serta kemungkinan untuk merevisi Bogor Goals.
Kalangan pebisnis yang bergabung dalam APEC Business Advisory Council (ABAC) juga sudah lama merasakan kebuntuan dalam proses liberalisasi APEC. Karena itu, tahun 2004 mereka menggagas Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP).
Kegiatan APEC yang bersifat legally non-binding dinilai tidak membawa kemajuan, sementara suatu kawasan perdagangan bebas (FTA) sifatnya mengikat atau legally binding. Untuk melaksanakan liberalisasi perdagangan dan investasi, APEC mempunyai tiga pilar kebijakan, yakni (1) liberalisasi perdagangan dan investasi, (2) memfasilitasi bisnis, dan (3) kerja sama ekonomi dan teknik. Kemudian ada Collective Action Plan dan Individual Action Plan, serta Assessment Review Mechanism.
Untuk menembus kebuntuan, pertemuan puncak tahun 1997 di Kanada mencetuskan Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL). EVSL dicoba diterapkan di sembilan sektor pada pertemuan berikutnya di Kuala Lumpur, di antaranya otomotif. Namun, upaya ini mandek.
Tahun 2001 di Shanghai, China, APEC memperkenalkan APEC Pathfinder Initiative. Intinya, inisiatif yang diambil APEC dapat segera dimulai tanpa harus menunggu anggota perekonomian yang belum siap.
Keberhasilan APEC
Banyak petinggi APEC membanggakan keberhasilan liberalisasi perdagangan. Misalnya, pada kurun waktu 19 tahun tarif rata-rata yang berlaku di APEC turun dari 16,9 persen tahun 1989—ketika APEC berdiri— menjadi 6,6 persen tahun 2008.
Nilai perdagangan barang dan jasa naik dari 3 triliun dollar AS menjadi 17 triliun dollar AS dan perdagangan barang intra-APEC naik dari 1,7 triliun dollar AS menjadi 9,3 triliun dollar AS (Committee on Trade and Investment Report, 5/8/10).
Apakah keberhasilan ini karena APEC semata atau hal-hal lain, mengingat keterbatasan instrumen APEC? Kenyataannya, pertama perdagangan akan meningkat alamiah tanpa pembentukan kawasan perdagangan bebas karena pelaku bisnis akan mencari jalan sendiri. Perjanjian perdagangan bebas untuk memicu pertumbuhan lebih cepat.
Kedua, penurunan tarif yang relatif besar terjadi karena komitmen negara-negara anggota WTO. Semua anggota perekonomian APEC, kecuali Rusia, adalah anggota WTO.
Hasil yang disepakati dari Putaran Uruguay GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tahun 1994 adalah: (1) penurunan tarif sepertiga dari tingkat tarif bagi negara maju dan negara sedang berkembang mematok tarif rata-rata pada tingkat maksimum 40 persen; (2) menghapus semua hambatan nontarif dan menggantikannya dengan hambatan tarif; (3) mengikat semua tingkat tarif bagi negara-negara maju dan bagi negara-negara sedang berkembang boleh tidak mengikat sebanyak-banyaknya 5 persen; (4) menghapus kuota dalam perdagangan tekstil dan pakaian jadi secara bertahap hingga 2005.
Sebagai hasilnya negara-negara maju menurunkan tarif rata-rata dari 6,2 persen tahun 1995 menjadi 3,7 persen tahun 2005, sementara negara-negara sedang berkembang dari rata-rata 20,5 persen menjadi 14,4 persen dan Indonesia dari rata-rata 16,4 persen menjadi 7,8 persen.
WTO adalah lembaga penerus GATT dan kesepakatan dalam WTO mengikat dan dilaksanakan semua anggota. Komitmen yang sama ini kemudian dibawa ke APEC. Jadi, keberhasilan penurunan tarif adalah dalam WTO, bukan APEC.
Ketiga, APEC bertujuan memengaruhi keberhasilan proses liberalisasi perdagangan dan investasi di WTO. Perekonomian APEC yang menjadi anggota WTO hanyalah 20, sementara WTO beranggotakan 151 negara. Semua negara anggota mematuhi keputusan WTO.
APEC dan WTO
APEC gagal memengaruhi kemajuan di WTO. Berkali-kali para pemimpin perekonomian APEC mengimbau anggota untuk menyukseskan perundingan Doha Development Agenda, tetapi hingga kini DDA macet dan mempersulit liberalisasi perdagangan dan investasi di APEC.
Keempat, salah satu tujuan APEC adalah mencapai WTO Plus yang berarti liberalisasi penuh minus komitmen WTO. Makin jauh program liberalisasi dari komitmen WTO, semakin sulit pencapaiannya karena menyangkut sektor-sektor yang sensitif. Dengan hanya unilateral actions yang non-binding rasanya sulit mencapai Bogor Goals.
Kelima, APEC semakin lama semakin tidak fokus pada Bogor Goals karena setiap tahun muncul agenda baru. Sekarang program kerja APEC bukan hanya perdagangan dan investasi saja, tetapi juga masalah gender, lingkungan, kesehatan, terorisme, sehingga Bogor Goals tersingkir.
Keenam, maraknya pembentukan kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik menghapuskan hampir semua hambatan tarif dan nontarif sehingga memicu peningkatan volume perdagangan. Kebetulan negara-negara ini adalah anggota APEC. Artinya, perhatian lebih dicurahkan pada persetujuan perdagangan bebas daripada ke APEC.
Sebelum pencanangan Bogor Goals 1994 di kawasan APEC sudah ada kawasan perdagangan bebas seperti Australia-New Zealand Closer Economic Relations and Trade Agreement (ANZERTA), Australia-Papua New Guinea FTA (PATCRA), ASEAN FTA (AFTA), dan North American FTA (NAFTA).
Setelah 1994, lebih banyak lagi dibentuk persetujuan perdagangan bebas, baik secara subregional maupun secara bilateral. Subregional, misalnya, antara ASEAN dan China, Korea dan Jepang. Yang bilateral misalnya Jepang dengan Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Semua itu menunjukkan bahwa proses liberalisasi APEC tidak memenuhi harapan perekonomian anggota APEC sehingga masing-masing mencari jalan sendiri-sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Seandainya liberalisasi APEC bisa mencapai sasaran dan memenuhi kebutuhan masing-masing negara, maka segala macam bentuk persetujuan perdagangan bebas subregional dan bilateral tidak perlu ada.

Lepi T Tarmidi Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Senin, 01 November 2010

ACFTA, KEMESTIAN YANG DITINJAU ULANG

Pendapat pribadi
tidak dipublikasikan




ACFTA, KEMESTIAN YANG DITINJAU ULANG
Budi Nugroho
Widyaiswara Badan Diklat Departemen Keuangan
(tulisan merupakan  pendapat pribadi)


Setelah mengadakan pertemuan dengan  pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Bogor tanggal 21 Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan akan meninjau kembali implementasi Asean China Freea Trade Area( ACFTA) yang mulai diimplementasikan 1 Januari 2010. Dengan implementasi itu maka barang impor dari China akan mendapat keistimewaan berupa  penurunan tarif bea masuk impor atas 1.516 pos tarif dari sebelumnya 5% menjadi 0%. Dari jumlah itu sebanyak 228 pos tarif diusulkan untuk dipertimbangkan lagi mengingat industri domestik bersangkutan merasa belum siap bersaing.
Keraguan dunia usaha menghadapi implementasi ACFTA sebenarnya sudah cukup lantang terdengar pada awal Desember tahun lalu. Banyak kalangan  menyatakan bahwa ketidaksiapan industri mengahadapi China bukan semata ketidakmampuan usahawan dan berharap penundaan implementasi. Presiden menilai permintaan itu semata sebagai sikap nasionalisme sempit dari sebagian kalangan yang tidak siap bersaing.
Bahkan pada tanggal 15 Desember Menko Perekonomian menegaskan Indonesia akan melaksanakan komitmen sesuai perjanjian para pemimpinnya. Perjanjian ACFTA disepakati tahun 2004 setelah dicetuskan oleh Perdana Menteri China Zhu Rongji pada tahun 2000  pada Pertemuan Puncan ASEAN.
Sinyal pesimis menghadapai implementasi sebenarnya sudah disampaikan Kementrian Perindustrian pada  Agustus 2009 yang jujur menyatakan kekhawatiran akan munculnya dampak negatif. Sayangnya kekhawatiran ini tidak diteruskan dengan langkah konkret, walaupun sudah dirasa terlambat.
Nampaknya  kebiasaan untuk terkaget-kaget dan sibuk pada last minute tetap terpelihara oleh segenap komponen negeri ini meski sebenarnya sudah tahu dan dapat memprediksi apa yang akan segera dihadapi. Persiapan menuju implementasi ACFTA mestinya sudah dimulai sejak perjanjian tahun 2004 itu disepakati. Bahkan sebenarnya kita memiliki pengalaman mempersiapkan diri menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA)  yang dimulai tahun 2003.

Bukan Si Kuat tapi Si Tanggap

Apakah keputusan Pemerintah meninjau kembali ACFTA pantas diapresiasi sebagai bentuk respon bagi dunia usaha di Indonesia? Nampaknya persoalan tidak akan sesederhana itu. Penundaan ACFTA akan memberikan citra tidak baik bagi Indonesia di mata dunia. Kepercayaan terhadap Indonesia akan menurun. Dan repotnya ini terjadi bersamaan dengan sikap optimis pemerintah untuk mengembangkan FTA dengan negara-negara lain. Indonesia juga aktif terlibat dalam blok perdagangan bebas terbesar dunia yaitu Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Indonesia bersama-sama dengan negara Asean lain telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea Selatan, Jepang  (Asean+3) dan India. Perluasan kesepakatan perdagangan bebas bahkan terus dikembangkan antara Asean dengan Uni Eropa (27 negara) serta dengan Australia dan New Zealand.
Peninjauan kembali implementasi ACFTA menjadi langkah mundur yang mestinya tidak terjadi bila  semua pihak mempersiapkan diri secara nyata. Perdagangan bebas merupakan kemestian jaman yang tidak dapat dihindari. Siap atau tidak, perdagangan bebas itu harus dijalani. Frederick Ratzel dalam teori geopolitik menyatakan bahwa negara pada dasarnya sama dengan organisme atau makhluk hidup. Charles Darwin dengan teori evolusi menyebutkan bahwa “bukan siapa yang kuat namun siapa yang tanggap” yang akan bertahan. Bukan negara yang kuat yang akan bertahan namun negara yang tangggap. Fakta telah membuktikan teori-teori itu. Uni Soviet yang begitu perkasa, ternyata tidak dapat melewati ulang tahunnya yang ke-100. Keperkasaan itu sirna dan tidak dapat bertahan sebagaimana  si “tanggap”.

Langkah Nyata

Semangat perdagangan bebas mengharuskan produsen mesti efisien dalam berpoduksi untuk menekan harga jual. Produsen yang tidak mampu menjual barang dengan harga murah akan kalah bersaing melawan produsen yang efisien hingga mampu menjual barang dengan harga lebih murah. Persaingan itu, tidak lagi hanya berlingkup nasional. Sayang sekali bila ketidakmampuan usahawan untuk bersaing di tingkat dunia itu diakibatkan oleh masalah PR pemerintah yang tidak kunjung selesai. Suplai energi terbatas, iklim ketenagakerjaan yang tidak kondusif, infrastruktur yang buruk, birokrasi yang mahal, akses pendanaan terbatas serta bunga kredit yang tinggi.
Nampaknya sikap aktif pemerintah dalam mempromosikan dan melibatkan diri dalam berbagai kesepakatan perdaganan bebas tidak sepenuhnya diikuti dengan mendukung dan memfasilitasi industri secara  memadai. Sayang sekali bila ketidaksiapan industri itu terjadi justru karena pemerintah yang tidak tanggap pada kebutuhan industri. Kesenjangan sikap pemerintah ini mesti segera diakhiri. Jangan sampai perdagangan bebas yang telah menjadi kemestian yang tidak dapat dihindari ini justru membawa dampak negatif. Perdagangan bebas dengan tujuan dasar untuk membawa seluruh umat manusia bisa menikmati barang berkualitas dengan harga murah ini semoga tidak mengakibatkan industri kita terpuruk kalah bersaing karena aparat pemerintah yang tidak tanggap.
Peninjauan ulang implementasi ACFTA tidak akan bermakna bila tidak disertai langkah konkret. Langkah mendesak itu setidaknya meliputi tiga hal yaitu pangkas birokrasi yang berbelit dan mahal, perbaiki aturan dan iklim ketenagakerjaan serta perbaiki institusi perbankan hingga menjadi efisien dan memangkas bunga.





PERBANDINGAN KAWASAN BERIKAT DENGAN FASILITAS DAN KEMUDAHAN KEPABEANAN LAINNYA DI BIDANG IMPOR

Dimuat di
Warta Bea Cukai
Majalah Direktorat Jenderal Bea dan CUkai
Kementerian Keuangan
edisi Oktober 2010


PERBANDINGAN KAWASAN BERIKAT DENGAN
FASILITAS DAN KEMUDAHAN KEPABEANAN LAINNYA DI BIDANG IMPOR
Budi Nugroho
Widyaiswara Muda
Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan


Perkembangan dewasa ini telah mengubah fungsi DJBC bergeser. Energi DJBC di bidang tax collection telah terkurangi dan sebagiannya makin ditujukan pada trade facilitation. Bentuk fasilitas yang paling utama adalah kawasan berikat (KB) yang merupakan salah satu jenis tempat penimbunan berikat sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-undang Kepabeanan. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2009 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1996. Sesuai ketentuan pasal 48 Peraturan Pemerintah tersebut, maka tentunya akan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang menggantikan Kep-291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat serta tentunya juga Peraturan Dirjen BC menggantikan  Kep-63/BC/1997 tentang  Tatacara Pendirian Dan Tatalaksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat. Untuk tujuan penyusunan  peraturan itu, tulisan ini semoga bisa menjadi salah satu masukan yang membangun.
Perbandingan Fasilitas dan Sanksi
Sebagai salah satu rekomendasi dalam penyusunan atau perubahan peraturan perundang-undangan, diperlukan studi perbandingan. Untuk itu dilakukan pembandingan antara pemberian fasilitas dan pengenaan sanksi pada beberapa bentuk fasilitas dan kemudahan di bidang kepabeanan. Pada tabel disajikan hasil  perbandingan tersebut.
Perbandingan mengenai bentuk fasilitas, jangka waktu pemberian fasilitas, kewajiban menaruhkan jaminan, bentuk pelanggaran dan sanksinya atas beberapa fasilitas dan kemudahan di bidang kepabeanan tersebut menunjukkan bahwa KB merupakan fasilitas dengan  jenis pemberian fasilitas yang terbanyak namun dengan bentuk sanksi yang paling minim. Fasilitas yang ditujukan  bagi perusahaan yang berstatus importir produsen dengan tujuan utama mengekspor hasil olahannya adalah fasilitas  KB serta KITE. Fasilitas KB memiliki karakter yang mirip dengan KITE. Fasititas atas KB diberikan kepada kawasannya yang merupakan industri terpadu sehingga pemberian fasilitas berlaku pada hampir semua barang yang dimasukkan ke KB, sedangkan fasilitas KITE diberikan pada barang berupa bahan baku yang diolah, dirakit atau digabung dengan barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Berdasar pembandingan itu, perlu dipertimbangkan untuk mengatur pemberian sanksi yang lebih tegas pada pelanggaran dalam fasilitas KB. Fasilitas yang lebih banyak sepantasnya disertai dengan pemberian sanksi yang lebih berat pula.
Penjualan ke TLDP
Salah satu poin penting mengenai KB adalah pengeluaran tujuan tempat lain dalam daerah pabean (TLDP) yang saat ini mengacu pada PMK nomor 101/PMK.04/2005. Tulisan saya yang mengkritisi hal ini dimuat di WBC edisi  Januari 2008. Namun ternyata ketentuan mengenai jumlah persentase penjualan ke TLDP tidak diatur dalam PP 32 tahun 2009, berbeda dengan PP 33 tahun 1996 pada pasal 15 yang mengatur bahwa penjualan ke TLDP dapat dilakukan bila telah dilakukan realisasi ekspor.
Nampaknya PP 32 tahun 2009 memang memberi ruang yang sangat luas bagi Menteri Keuangan untuk membuat ketentuan yang lebih rinci. Semoga PMK yang akan diterbitkan itu memberi batasan yang pasti mengenai besaran persentase penjualan hasil olahan (produk) ke TLDP. Sebagai perbandingan, fasilitas KITE hanya mengijinkan penjualan ke TLDP sebesar 25% dari realisasi ekspor.
Perusahaan KITE merupakan perusahaan yang mendapat fasilitas hanya atas bahan baku, sedangkan KB mendapat fasilitas atas bahan baku, barang modal dan peralatan. Melihat tujuan utama kedua fasilitas itu, yaitu untuk meningkatkan pasar ekspor, maka mestinya kesempatan penjualan ke TLDP dari KB tidak akan menyamai apalagi melebihi besaran persentase di KITE. Aktifitas KITE dan KB menjual hasil olahannya ke TLDP dikhawatirkan akan mengakibatkan persaingan yang tidak sepadan mengingat yang akan dihadapi meliputi pengusaha yang sama sekali tidak mendapat fasilitas.  
Fasilitas yang diterima PDKB menjadikannya bisa memproduksi barang secara jauh lebih efisien dan dapat menjual barang hasil olahannya dengan harga lebih murah. Efisiensi itu secara garis besar didapat meliputi keunggulan yang tidak dimiliki perusahaan non PDKB sebagai berikut:
1.        Fasilitas perpajakan untuk barang modal (berupa mesin untuk produksi) dan  peralatan serta peralatan perkantoran,
2.        Berbagai fasilitas perpajakan untuk bahan baku, baik pada saat impor maupun  pada berbagai proses produksi yang melibatkan pihak lain,
3.        Tidak ada kewajiban menaruhkan jaminan atas pemberian fasilitas perpajakan yang diterimanya,
4.        Tidak ada batas waktu penyelesaian proses produksi,
5.        Tidak ada bunga atas penundaan pembayaran BM dan pajak untuk hasil olahan yang dijual ke TLDP,
6.        Prosedur pengimporan barang yang lebih sederhana.
KB pada dasarnya sesuai tujuan awal pembentukannya dimaksudkan agar menjual barangnya ke luar negeri. Pesaing KB mestinya pasar ekspor dan bukan pasar domestik. Pemberian kelonggaran penjualan ke pasar domestik menjadi semacam celah bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih. Persaingan yang tidak imbang PDKB dengan pasar domestik dikhawatirkan akan berakibat pada berkurangnya pasar bagi  industri domestik  lainnya yang menghasilkan produk serupa.
Perhitungan Persentase
Penetapan besaran persentase penjualan ke TLDP mesti secara tegas mengatur bahwa perhitungan tersebut meliputi seluruh aktifitas KB. Berdasar keterangan dari beberapa siswa diklat, ternyata ada KB yang perhitungan persentase penjualan ke TLDP hanya didasarkan pada hasil olahan (produk) yang dihasilkan dari bahan baku impor saja. Penjualan ke TLDP dari bahan baku asal TLDP, tidak diperhitungkan dalam penentuan besaran persentase penjualan ke TLDP  tersebut. Bila hal itu yang terjadi maka KB dimaksud sebenarnya sama sekali tidak berbeda dengan mekanisme di perusahaan KITE. KB tersebut ibarat KITE yang secara istimewa mendapat fasilitas atas impor barang modal dan peralatannya.
Lebih rinci, masalah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. PT A dengan kapasitas produksi 100 mendapat fasilitas sebagai KB. Dengan demikian maka atas kapasitas itu, seluruhnya ditujukan terutama untuk ekspor. Dengan begitu PT A mendapat fasilitas atas seluruh importasinya baik bahan baku maupun barang modal dan peralatan.
PT B dengan kapasitas produksi 100, menggunakan 80% kapasitasnya untuk penjualan ke pasar domestik dan 20% untuk penjualan ekspor. Maka PT B mendapat fasilitas KITE yaitu memperoleh fasilitas hanya atas bahan baku yang jelas-jelas hasil olahannya akan diekspor. PT B tidak mendapat fasilitas atas impor barang modal dan peralatannya karena penggunaannya tidak seluruhnya dimaksudkan untuk penjualan ekspor. Pemberian fasilitas atas barang modal tidak ditujukan bagi pengolahan barang yang jelas akan ditujukan ke pasar domestik.
Apabila ternyata PT A juga menerima sub kontrak dari TLDP yaitu memperoleh bahan baku dari pasar lokal kemudian mengolahnya  dan menjualnya ke pasar lokal, maka sebenarnya ia sudah menyimpang dari niat awal pemberian fasilitas atas barang modal dan peralatannya itu. Apabila atas sub kontrak ini tidak diperhitungkan dalam penentuan persentase penjualan ke TLDP, bisa jadi pekerjaan sub kontrak ini telah mendominsai aktifitas KB. Bisa jadi aktifitas sub kontrak itu telah mencapai 60% dari kapasitas produksi. Bila hal ini yang terjadi, bukankah PT A secara substansial telah menjadi perusahaan dengan karakteristik sebagai perusahaan KITE?
Rekomendasi
     Berdasarkan pertimbangan di atas maka beberapa masukan perlu dipertimbangkan bagi perubahan atau penyusunan Peraturan Menteri Keuangan yang mengantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.04/1997 serta perubahannya.  Masukan bagi perubahan dimaksud meliputi beberapa  hal yaitu:
1.      Penjualan hasil olahan KB ke TLDP hanya dapat dilakukan setelah  adanya realisasi ekspor,
2.      Besaran persentase penjualan dari KB ke TLDP diberikan maksimum  25 % dari realisasi ekspor.
3.      Secara tegas diatur bahwa persentase penjualan ke TLDP meliputi penjualan hasil olahan (produk) dari bahan baku asal TLDP.
4.      Perlu memberikan sanksi yang lebih tegas atas pelanggaran yang dilakukan KB. Pemberian sanksi ditetapkan  dengan melihat perbandingan terhadap berbagai sanksi yang berlaku pada pemberian fasilitas dan kemudahan lainnya. Sanksi tersebut berupa  pengenaan sanksi administrasi berupa denda serta bunga. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda serta bunga di antaranya diterapkan   apabila jumlah persentase penjualan ke TLDP melebihi ketentuan, yaitu:
a.      Pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas kelebihan dimaksud  yaitu denda 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar ditambah bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan sejak tanggal pengimporan,
b.      Pembayaran PPN dan PPnBM dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan paling lama 24 bulan sejak tanggal pengimporan.

Tabel
Perbandingan Bentuk Fasilitas dan Sanksi atas Pelanggaran
pada Beberapa Jenis Kemudahan dan Fasilitas


Pembebasan/ Keringanan        Ps 25 & 26 UU Pabean
Pelayanan Segera
Returnable Package
Impor Sementara
PIB Berkala
Vooruitslag
KITE
Kawasan Berikat
Bentuk Fasilitas
pmbebasan/ keringanan BM
Penundaan BM
Pmbebasan BM
Pbebasan/ kringanan BM
Pnundaan BM
Penangguhan BM
Penangguhan BM
Penangguhan BM
Jangka Fasilitas
Tidak diatur
3 hari
Per 1 tahun
s.d. 3  tahun
s.d. 30 hari
s.d. 120 hari
12 bulan
Tak terbatas
Kewajiban Jaminan
Tanpa jaminan
Jaminan
--
Jaminan, dan atau bayar BM  2%/bulan
Jaminan
Jaminan
Jaminan
Tanpa jaminan
P e l a n g g a r a n
BBentuk
Pelanggaran
Digunakan tidak sesuai tujuan
tidak melunasi BM  dlm waktu yg ditetapkan
Pengunaan tidak sesuai ijin
Terlambat atau tidak mengekspor kembali
tidak serahkan PIB dan lunasi BM  dlm jangka yg ditetapkan
tidak melunasi BM  dlm jangka yang ditetapkan
Pjualan ke TLDP melebihi persentase yg ditentukan
Penjualan ke TLDP melebihi persentse yang ditentukan
Sanksi bagi
Pelanggaran
100% - 500%
dari bea masuk
10% dari   bea masuk
-   Wajib ekspor
-   Denda 100% dari  BM
100% dari    bea masuk
10% dari      bea masuk
10% dari bea masuk
100% dari bea masuk
- Pengurangan persentase tahun  berikutnya
- Pencabutan daftar putih
- Pembekuan izin
Bunga
- -
- -
- -
- -
- -
2% per bulan sejak PIB
2% per bulan sejak PIB
Tanpa bunga
Text Box: 82Sumber : Diolah dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 580/KMK.04/2003, 148/KMK.04/2007, 169/KMK.04/ 2007,  291/KMK.05/1997, 140/PMK.04/2007