Warta Bea Cukai
Majalah Direktorat Jenderal Bea dan CUkai
Kementerian Keuangan
edisi Oktober 2010
PERBANDINGAN KAWASAN BERIKAT DENGAN
FASILITAS DAN KEMUDAHAN KEPABEANAN LAINNYA DI BIDANG IMPOR
Budi Nugroho
Widyaiswara Muda
Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Perkembangan dewasa ini telah mengubah fungsi DJBC bergeser. Energi DJBC di bidang tax collection telah terkurangi dan sebagiannya makin ditujukan pada trade facilitation. Bentuk fasilitas yang paling utama adalah kawasan berikat (KB) yang merupakan salah satu jenis tempat penimbunan berikat sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-undang Kepabeanan. Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2009 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1996. Sesuai ketentuan pasal 48 Peraturan Pemerintah tersebut, maka tentunya akan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang menggantikan Kep-291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat serta tentunya juga Peraturan Dirjen BC menggantikan Kep-63/BC/1997 tentang Tatacara Pendirian Dan Tatalaksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat. Untuk tujuan penyusunan peraturan itu, tulisan ini semoga bisa menjadi salah satu masukan yang membangun.
Perbandingan Fasilitas dan Sanksi
Sebagai salah satu rekomendasi dalam penyusunan atau perubahan peraturan perundang-undangan, diperlukan studi perbandingan. Untuk itu dilakukan pembandingan antara pemberian fasilitas dan pengenaan sanksi pada beberapa bentuk fasilitas dan kemudahan di bidang kepabeanan. Pada tabel disajikan hasil perbandingan tersebut.
Perbandingan mengenai bentuk fasilitas, jangka waktu pemberian fasilitas, kewajiban menaruhkan jaminan, bentuk pelanggaran dan sanksinya atas beberapa fasilitas dan kemudahan di bidang kepabeanan tersebut menunjukkan bahwa KB merupakan fasilitas dengan jenis pemberian fasilitas yang terbanyak namun dengan bentuk sanksi yang paling minim. Fasilitas yang ditujukan bagi perusahaan yang berstatus importir produsen dengan tujuan utama mengekspor hasil olahannya adalah fasilitas KB serta KITE. Fasilitas KB memiliki karakter yang mirip dengan KITE. Fasititas atas KB diberikan kepada kawasannya yang merupakan industri terpadu sehingga pemberian fasilitas berlaku pada hampir semua barang yang dimasukkan ke KB, sedangkan fasilitas KITE diberikan pada barang berupa bahan baku yang diolah, dirakit atau digabung dengan barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Berdasar pembandingan itu, perlu dipertimbangkan untuk mengatur pemberian sanksi yang lebih tegas pada pelanggaran dalam fasilitas KB. Fasilitas yang lebih banyak sepantasnya disertai dengan pemberian sanksi yang lebih berat pula.
Penjualan ke TLDP
Salah satu poin penting mengenai KB adalah pengeluaran tujuan tempat lain dalam daerah pabean (TLDP) yang saat ini mengacu pada PMK nomor 101/PMK.04/2005. Tulisan saya yang mengkritisi hal ini dimuat di WBC edisi Januari 2008. Namun ternyata ketentuan mengenai jumlah persentase penjualan ke TLDP tidak diatur dalam PP 32 tahun 2009, berbeda dengan PP 33 tahun 1996 pada pasal 15 yang mengatur bahwa penjualan ke TLDP dapat dilakukan bila telah dilakukan realisasi ekspor.
Nampaknya PP 32 tahun 2009 memang memberi ruang yang sangat luas bagi Menteri Keuangan untuk membuat ketentuan yang lebih rinci. Semoga PMK yang akan diterbitkan itu memberi batasan yang pasti mengenai besaran persentase penjualan hasil olahan (produk) ke TLDP. Sebagai perbandingan, fasilitas KITE hanya mengijinkan penjualan ke TLDP sebesar 25% dari realisasi ekspor.
Perusahaan KITE merupakan perusahaan yang mendapat fasilitas hanya atas bahan baku, sedangkan KB mendapat fasilitas atas bahan baku, barang modal dan peralatan. Melihat tujuan utama kedua fasilitas itu, yaitu untuk meningkatkan pasar ekspor, maka mestinya kesempatan penjualan ke TLDP dari KB tidak akan menyamai apalagi melebihi besaran persentase di KITE. Aktifitas KITE dan KB menjual hasil olahannya ke TLDP dikhawatirkan akan mengakibatkan persaingan yang tidak sepadan mengingat yang akan dihadapi meliputi pengusaha yang sama sekali tidak mendapat fasilitas.
Fasilitas yang diterima PDKB menjadikannya bisa memproduksi barang secara jauh lebih efisien dan dapat menjual barang hasil olahannya dengan harga lebih murah. Efisiensi itu secara garis besar didapat meliputi keunggulan yang tidak dimiliki perusahaan non PDKB sebagai berikut:
1. Fasilitas perpajakan untuk barang modal (berupa mesin untuk produksi) dan peralatan serta peralatan perkantoran,
2. Berbagai fasilitas perpajakan untuk bahan baku, baik pada saat impor maupun pada berbagai proses produksi yang melibatkan pihak lain,
3. Tidak ada kewajiban menaruhkan jaminan atas pemberian fasilitas perpajakan yang diterimanya,
4. Tidak ada batas waktu penyelesaian proses produksi,
5. Tidak ada bunga atas penundaan pembayaran BM dan pajak untuk hasil olahan yang dijual ke TLDP,
6. Prosedur pengimporan barang yang lebih sederhana.
KB pada dasarnya sesuai tujuan awal pembentukannya dimaksudkan agar menjual barangnya ke luar negeri. Pesaing KB mestinya pasar ekspor dan bukan pasar domestik. Pemberian kelonggaran penjualan ke pasar domestik menjadi semacam celah bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih. Persaingan yang tidak imbang PDKB dengan pasar domestik dikhawatirkan akan berakibat pada berkurangnya pasar bagi industri domestik lainnya yang menghasilkan produk serupa.
Perhitungan Persentase
Penetapan besaran persentase penjualan ke TLDP mesti secara tegas mengatur bahwa perhitungan tersebut meliputi seluruh aktifitas KB. Berdasar keterangan dari beberapa siswa diklat, ternyata ada KB yang perhitungan persentase penjualan ke TLDP hanya didasarkan pada hasil olahan (produk) yang dihasilkan dari bahan baku impor saja. Penjualan ke TLDP dari bahan baku asal TLDP, tidak diperhitungkan dalam penentuan besaran persentase penjualan ke TLDP tersebut. Bila hal itu yang terjadi maka KB dimaksud sebenarnya sama sekali tidak berbeda dengan mekanisme di perusahaan KITE. KB tersebut ibarat KITE yang secara istimewa mendapat fasilitas atas impor barang modal dan peralatannya.
Lebih rinci, masalah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. PT A dengan kapasitas produksi 100 mendapat fasilitas sebagai KB. Dengan demikian maka atas kapasitas itu, seluruhnya ditujukan terutama untuk ekspor. Dengan begitu PT A mendapat fasilitas atas seluruh importasinya baik bahan baku maupun barang modal dan peralatan.
PT B dengan kapasitas produksi 100, menggunakan 80% kapasitasnya untuk penjualan ke pasar domestik dan 20% untuk penjualan ekspor. Maka PT B mendapat fasilitas KITE yaitu memperoleh fasilitas hanya atas bahan baku yang jelas-jelas hasil olahannya akan diekspor. PT B tidak mendapat fasilitas atas impor barang modal dan peralatannya karena penggunaannya tidak seluruhnya dimaksudkan untuk penjualan ekspor. Pemberian fasilitas atas barang modal tidak ditujukan bagi pengolahan barang yang jelas akan ditujukan ke pasar domestik.
Apabila ternyata PT A juga menerima sub kontrak dari TLDP yaitu memperoleh bahan baku dari pasar lokal kemudian mengolahnya dan menjualnya ke pasar lokal, maka sebenarnya ia sudah menyimpang dari niat awal pemberian fasilitas atas barang modal dan peralatannya itu. Apabila atas sub kontrak ini tidak diperhitungkan dalam penentuan persentase penjualan ke TLDP, bisa jadi pekerjaan sub kontrak ini telah mendominsai aktifitas KB. Bisa jadi aktifitas sub kontrak itu telah mencapai 60% dari kapasitas produksi. Bila hal ini yang terjadi, bukankah PT A secara substansial telah menjadi perusahaan dengan karakteristik sebagai perusahaan KITE?
Rekomendasi
Berdasarkan pertimbangan di atas maka beberapa masukan perlu dipertimbangkan bagi perubahan atau penyusunan Peraturan Menteri Keuangan yang mengantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.04/1997 serta perubahannya. Masukan bagi perubahan dimaksud meliputi beberapa hal yaitu:
1. Penjualan hasil olahan KB ke TLDP hanya dapat dilakukan setelah adanya realisasi ekspor,
2. Besaran persentase penjualan dari KB ke TLDP diberikan maksimum 25 % dari realisasi ekspor.
3. Secara tegas diatur bahwa persentase penjualan ke TLDP meliputi penjualan hasil olahan (produk) dari bahan baku asal TLDP.
4. Perlu memberikan sanksi yang lebih tegas atas pelanggaran yang dilakukan KB. Pemberian sanksi ditetapkan dengan melihat perbandingan terhadap berbagai sanksi yang berlaku pada pemberian fasilitas dan kemudahan lainnya. Sanksi tersebut berupa pengenaan sanksi administrasi berupa denda serta bunga. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda serta bunga di antaranya diterapkan apabila jumlah persentase penjualan ke TLDP melebihi ketentuan, yaitu:
a. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas kelebihan dimaksud yaitu denda 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar ditambah bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan sejak tanggal pengimporan,
b. Pembayaran PPN dan PPnBM dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan paling lama 24 bulan sejak tanggal pengimporan.
Tabel
Perbandingan Bentuk Fasilitas dan Sanksi atas Pelanggaran
pada Beberapa Jenis Kemudahan dan Fasilitas
| Pembebasan/ Keringanan Ps 25 & 26 UU Pabean | Pelayanan Segera | Returnable Package | Impor Sementara | PIB Berkala | Vooruitslag | KITE | Kawasan Berikat | |
Bentuk Fasilitas | pmbebasan/ keringanan BM | Penundaan BM | Pmbebasan BM | Pbebasan/ kringanan BM | Pnundaan BM | Penangguhan BM | Penangguhan BM | Penangguhan BM | |
Jangka Fasilitas | Tidak diatur | 3 hari | Per 1 tahun | s.d. 3 tahun | s.d. 30 hari | s.d. 120 hari | 12 bulan | Tak terbatas | |
Kewajiban Jaminan | Tanpa jaminan | Jaminan | -- | Jaminan, dan atau bayar BM 2%/bulan | Jaminan | Jaminan | Jaminan | Tanpa jaminan | |
P e l a n g g a r a n | BBentuk Pelanggaran | Digunakan tidak sesuai tujuan | tidak melunasi BM dlm waktu yg ditetapkan | Pengunaan tidak sesuai ijin | Terlambat atau tidak mengekspor kembali | tidak serahkan PIB dan lunasi BM dlm jangka yg ditetapkan | tidak melunasi BM dlm jangka yang ditetapkan | Pjualan ke TLDP melebihi persentase yg ditentukan | Penjualan ke TLDP melebihi persentse yang ditentukan |
Sanksi bagi Pelanggaran | 100% - 500% dari bea masuk | 10% dari bea masuk | - Wajib ekspor - Denda 100% dari BM | 100% dari bea masuk | 10% dari bea masuk | 10% dari bea masuk | 100% dari bea masuk | - Pengurangan persentase tahun berikutnya - Pencabutan daftar putih - Pembekuan izin | |
Bunga | - - | - - | - - | - - | - - | 2% per bulan sejak PIB | 2% per bulan sejak PIB | Tanpa bunga |

Tidak ada komentar:
Posting Komentar