PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM
PERDAGANGAN BEBAS
dipublikasikan dalam website Pusdiklat Bea dan Cukai
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan
www.bppk.depkeu.go.id/webbc
Mei 2011
Kata perdagangan bebas (free trade) sudah begitu terbiasa kita dengar, namun ternyata kata yang sudah begitu populer itu tidak populer dalam penerapannya. Kata itu saat ini sedang menjadi perbincangan yang banyak bernada negatif dan bahkan pesimis. Perdagangan bebas mulai akrab di telinga saat Indonesia dengan negara-negara Asean lainnya berniat menerapkannya.
Asean Free Trade Area (AFTA) diusulkan pertama kali oleh Perdana Menteri Thailand Anand Panyarachun. Usul itu disepakati dan kemudian diwujudkan dalam Deklarasi Singapura pada Januari 1992 dengan niat untuk membentuk blok atau kawasan bebas Asean 15 tahun kemudian. AFTA direncanakan untuk implementasi pada tahun 2008. Sultan Brunei dalam perkembangan berikutnya mengusulkan agar pelaksanaan AFTA dipercepat, akhirnya secara resmi AFTA diimplementasikan mulai 1 Januari 2003.
Setelah implementasi AFTA, Asean cukup aktif meggandeng negara-negara lain untuk membentuk kawasan perdagangan bebas. Asean telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea Selatan, Jepang (Asean+3) dan India. Perluasan kesepakatan perdagangan bebas bahkan terus dikembangkan antara Asean dengan Uni Eropa (27 negara) serta dengan Australia dan New Zealand. Perundingan awal juga telah dilakukan dengan Rusia, Pakistan, dan Kanada. Di luar itu, tanpa terikat dalam keorganisasian Asean, Indonesia juga telah dalam masa persiapan penerapan perdagangan bebas se- Asia Pasifik dalam APEC.
Kemestian Perdagangan Bebas
Perdagangan bebas sebagai bagian dari globalisasi merupakan kemestian yang tidak dapat dihindari. Dunia sedang begitu cepat berlari hendak menyatu. Perdagangan bebas menyatukan dunia dalam distribusi barang. Tidak ada diskriminasi antara barang impor dengan barang produk domestik. Sebelum penerapan perdagangan bebas, barang impor akan dikenai pungutan negara berupa bea masuk. Pengenaan bea masuk ini menjadikan barang impor mengalami kenaikan harga. Produsen domestik dilindungi karena pesaing asing pasti harganya relatif lebih tinggi. Sayangnya, perlindungan melalui pungutan bea masuk ini menjadikan produsen domestik banyak yang tidak efisien dalam berproduksi. Harga barang cenderung tinggi. Kondisi demikian menjadikan konsumen dirugikan. Praktik proteksi industri dalam negeri terbukti pernah membawa dunia dalam kesulitan ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1930-an (Huala Adolf,2005:103).
Perdagangan bebas berniat menghapus diskriminasi atas barang impor dengan menghapus bea masuk. Semangat perdagangan bebas mengharuskan produsen mesti efisien dalam berpoduksi untuk menekan harga jual. Produsen yang tidak mampu menjual barang dengan harga murah akan kalah bersaing melawan produsen yang efisien hingga mampu menjual barang dengan harga lebih murah. Semua pihak harus menghadapi persaingan di tingkat internasional. Dunia sedang berpacu menuju “kesejahteraan umat manusia” dengan lomba menghadirkan barang dengan harga murah ke seluruh dunia melalui perdagangan bebas.
Perdagangan bebas telah menjadi kemestian yang tidak dapat dihindari. Negara pada dasarnya sama dengan organisme atau makhluk hidup yang makin sempurna dan membutuhkan ruang hidup yang makin luas karena kebutuhan (Srijanti,2006:142). Teori evolusi menyebutkan bahwa “bukan siapa yang kuat namun siapa yang tanggap” yang akan bertahan. Bukan negara yang kuat yang akan bertahan namun negara yang tangggap. Uni Soviet yang begitu perkasa, ternyata tidak mampu bertahan menghadapi kemestian jaman semacam itu. Indonesia dan negara-negara Asean berusaha tanggap dengan kondisi dunia ini dan aktif mempromosikan perdagangan bebas.
WTO
World Trade Organisation (WTO) sebagai kelanjutan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1994, dibentuk dengan tujuan sebagai wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur penghambat yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal (Christophorus Barutu, 2007:3). Preambule GATT pada pokonya menyatakan bahwa ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia dan meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang (Huala Adolf,2005:98). WTO yang berbasis di Jenewa, Swiss memiliki fungsi dasar untuk :
1. Mengatur dan menerapkan perjanjian dagang multilateral dan plurilateral,
2. Bertindak sebagai forum negoisasi perdagangan multilateral,
3. Menyelesaikan sengketa perdagangan,
4. Meninjau kebijakan perdagangan nasional, dan
5. Bekerja sama dengan lembaga internasional lain yang terlibat dalam pembentukan kebijakan perekonomian global (DJBC 1999:12).
Perdagangan internasional diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditanda tangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan yang dilakukan dalam WTO dilandaskan pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
- Perdagangan tanpa diskriminasi. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment/MFN),
- Akses pasar yang berkembang dan mudah diprediksi. Anggota WTO tidak boleh mengubah atau menaikkan tarif bea masuk impor barang secara sewenang-wenang,
- Mendorong persaingan usaha yang sehat tanpa diskriminasi. Tidak boleh ada perbedaan perlakuan atas barang impor dan barang produk lokal,
- Mendorong pengembangan dan reformasi perekonomian. Negara-negara berkembang mendapat perlakuan khusus dengan diberi masa transisi untuk menyesuaikan dengan ketentuan WTO (DJBC 1999:16).
Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangah internasional yang harmonis, fair dan terbuka. Namun di sisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional maka perlu dibektuk ketentuan-ketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnisnya (Christoforus Barutu,2007:29). Terdapat 3 instrumen untuk melindungi industri dalam negeri dari cara-cara negatif atau efek negatif perdagangan bebas. Ketiga cara tersebut diterapkan dengan pemberlakuan pengenaan bea masuk dalam kondisi tertentu. Bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan diberlakukan sebagai akibat adanya perlakuan tidak fair terhadap barang impor di negara pengekspor. Bea masuk tindakan pengamanan diterapkan sebagai tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment negara pengimpor.
Antidumping dan Antisubsidi
Dumping merupakan strategi berdagang dengan cara menjual barang ke pasar ekspor dengan harga lebih murah daripada ke pasar domestik. Penjualan murah ini bisa dikarenakan untuk mencapai tingkat efisiensi produksi berkaitan dengan jumlah produksi, atau karena stok yang berlimpah baik stok bahan baku maupun barang jadi sehingga berpotensi daluarsa, atau dari sisi makro hendak mendapatkan devisa. Negara pengimpor sebenarnya diuntungkan dengan harga murah ini, namun masalah akan timbul bila produk yang didumping ini bersaing dengan barang sejenis produk domestik di negara pengimpor. Produsen barang serupa di negara pengimpor berpotensi kalah bersaing.
Sebuah negara dalam suatu kondisi tertentu dimungkinkan untuk memberi fasilitas bagi industrinya untuk menggalakkan ekspornya. Kebijakan negara itu bisa berkait dengan masalah neraca perdagangan atau cadangan devisanya. Salah satu bentuk fasilitas dimaksud bisa berupa pemberian subsidi kepada industri yang berorientasi ekspor. Dengan demikian maka barang ekspor tersebut mengandung nilai subsidi. Barang ekspor dengan kandungan subsidi tentu saja berharga lebih murah dibanding dengan yang tidak mengandung subsidi. Konsumen di negara pengimpor diuntungkan. Paralel dengan strategi dumping, masalah akan timbul bila produsen barang serupa di negara pengimpor mengalami kerugian akibat bersaing dengan barang bersubsidi itu.
WTO memiliki beberapa instrumen yang mengatur masalah-malasah perlindungan yang ditujukan terhadap perlindungan industri yaitu Agreement on Implementation of Article VI (mengenai anti dumping), Agreement on Subsidies ang Countervailing Measures (mengenai subsidi dan tindakan imbalan) dan Agreement on Safeguards (mengenai tindakan pengamanan) (Christoforus Barutu.2007:31). Indonesia sebagai negara anggota WTO, terikat pada ketentuan itu dan telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan tentangnya.
Ketentuan mengenai hal di atas diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dalam Pasal 18 sampai dengan 23D. Dumping dan subsidi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan. Mengenai safeguard lebih lanjut diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Akibat Lonajkan Impor serta Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 85/MPP/KEP /2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri akibat Lonjakan Impor.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 tahun 1996 mengatur bahwa terhadap barang impor selain dikenakan bea masuk dapat dikenakan bea masuk antidumping, dalam hal harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya (terjadi dumping) dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian. Demikian juga, terhadap barang impor selain dikenakan bea masuk, dapat dikenakan bea masuk imbalan, dalam hal barang tersebut diberikan subsidi di negara pengekspor dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian. Lebih rinci diatur bahwa yang dimaksud dengan kerugian adalah:
a. kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis;
b. ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau
c. terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Industri dalam negeri dapat mengajukan permohonan kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk melakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai barang dumping dan/atau barang mengandung subsidi, yang menyebabkan kerugian. KADI di antaranya bertugas melakukan penyelidikan terhadap barang dumping dan barang mengandung subsidi, mengumpulkan,meneliti dan mengolah bukti dan informasi, mengusulkan pengenaan bea masuk antidumping dan bea masuk imbalan.
Apabila dalam masa penyelidikan ditemukan bukti permulaan yang kuat adanya barang dumping dan/atau barang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian, KADI dapat mengusulkan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk memberlakukan tindakan sementara berupa pengenaan bea masuk anti dumping sementara atau bea masuk imbalan sementara. Tindakan sementara tidak diberlakukan lagi dalam hal penyelidikan berakhir. Pengakhiran tindakan sementara dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan berupa pengenaan bea masuk antidumping atau bea masuk imbalan, atau pencabutan keputusan tindakan sementara bila hasil akhir penyelidikan tidak terbukti adanya barang dumping dan/atau barang mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Bea masuk anti dumping atau bea masuk imbalan ditetapkan setinggi-tingginya sama dengan marjin dumping (selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang dumping) atau subsidi neto (selisih antara subsidi dengan biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi dan/atau pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut)
Tindakan Pengamanan (safeguard)
Bea masuk tindakan pengamanan merupakan tindakan aktif suatu negara demi industrinya dan tidak berkaitan dengan adanya praktik tidak fair dari industri negara lain. Tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural.
Tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk menghindari keadaan ketika anggota WTO menghadapi dilema antara membiarkan pasar dalam negeri sangat terganggu oleh melonjaknya barang impor atau menarik diri dari kesepakatan WTO (keluar dari keanggotaan) (Christophorus Barutu, 2007:102). Article XIX GATT menerangkan bahwa penerapan tindakan pengamanan memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
1. adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development),
2. adanya lonjakan impor yang berlebihan,
3. mengakibatkan kerugian atau ancamam kerugian yang serius pada industri dalam negeri
Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 mengatur penentuan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh faktor-faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri dimaksud, yang meliputi:
a. tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
b. pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
c. perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
Tindakan safeguard dapat dilakukan dengan pengenaan bea masuk tindakan pengamaan atau dalam bentuk pemberlakuan kuota, pengenalan perijinan, kewenangan impor dan tindakan lain yang serupa untuk mengendalikan impor. Tindakan safeguard yang paling ekstrem adalah penetapan larangan impor atau pemberlakukan kuota nol. Termasuk dalam bentuk kebijakan perlindungan nontarif antara lain, kebijakan pembelian pemerintah (government procurement), pemberian subsidi pada kegiatan ekspor barang industri dalam negeri melalui sertifikat ekspor, perlindungan industri kecil terhadap saingan industri berskala besar atau menengah serta kebijakan pencadangan bidang usaha industri (Christophorus Barutu, 2007:117).
Tindakan pengamanan tetap hanya berlaku selama dianggap perlu untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dan untuk memberikan waktu penyesuaian struktural bagi industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Masa berlaku tindakan pengamanan paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang. Masa berlaku tindakan pengamanan secara keseluruhan tidak boleh melebihi 10 (sepuluh) tahun termasuk masa berlakunya tindakan pengamanan sementara, masa berlakunya tindakan pengamanan tetap dan perpanjangan tindakan pengamanan tetap.
Implementasi
Hingga saat ini telah diterbitkan banyak Keputusan Menteri Keuangan mengenai pengenaan bea masuk anti dumping. Sebagai contoh mutakhir, pada akhir tahun 2010 telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 195/PMK.011/2010 tanggal 23 November 2010 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor H Section dan I Section dari negara Republik Rakyat Tiongkok. Besaran BMAD ditetapkan untuk masa waktu 5 tahun sebagai berikut :
No | Eksportir/Produsen | Besaran BMAD dalam % |
1. | Laiwu Steel Corporation | 6,68 |
2. | Rizhao Medium Section Mill Co., Ltd | 6,63 |
3. | Perusahaan Lainnya | 11,93 |
Sebelumnya, pada bulan Agustus juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 145/PMK.011/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Aluminiummealdish (Lacquered Tray With Or Without Lid) Dari Negara Malaysia. Besaran BMAD ditetapkan berlaku selama 5 tahun sebesar :
No | Produsen | Besaran BMAD dalam % |
1. | Confoil (Malaysia) Sdn. Bhd | 27 |
2. | Perusahaan Lainnya | 27 |
Bea masuk tindakan pengamanan telah dikenakan terhadap beberapa jenis barang impor. Diantaranya adalah pengimporan produk keramik (ceramics tableware), paku dan impor produk dextrose monohydrate. Besaran tarif Bea masuk tindakan pengamanan produk keramik (ceramics tableware) ditetapkan sebagai berikut:
- tahun I ( 4-1-2009 s.d. 3-1-2010) : Rp 1.200,00 per kg
- tahun II ( 4-1-2010 s.d. 3-1-2010) : Rp 1.150,00 per kg
- tahun III (4-1-2011 s.d. 3-1-2012) : Rp 1.100,00 per kg
Untuk impor dextrose monohydrate besaran tarif bea masuk tindakan pengamanan ditetapkan sebagai berikut
- Tahun I (24 Agustus 2009 s.d. 23 Agustus 2010) : Rp 2.700,00 per kg
- Tahun II (24 Agustus 2010 s.d. 23 Agustus 2011) : Rp 2.400,00 per kg
- Tahun III (24 Agustus 2011 s.d. 23 Agustus 2012) : Rp 2.100,00 per kg
Mekanisme perdagangan bebas yang bertujuan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi umat manusia semoga dapat bekerja dengan baik. Konsumen yaitu rakyat Indonesia bisa mendapatkan barang berkualitas dengan harga murah. Produsen semoga bisa berproduksi secara efisien dan terlindungi dari praktik tidak fair dengan piranti peraturan yang telah disiapkan WTO maupun institusi perdagangan dan kepabeanan.
REFERENSI
Anna Maria Rosario D. Robeniol. Developments in The Asean-China Free Trade Agreement. Bahan pada Seminar on The Implementation of The Asean-China Free Trade Area di Yogyakarta tanggal 6 November 2009
Christophorus Barutu. 2007. Ketentuan Antidumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: Citra Aditya Bakti
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 1999. World Trade Organisation, Menuju Perdagangan Masa Depan. Jakarta
Doty Damayanti. “FTA, Industri, dan Kelemahan Diplomasi” Kompas. Senin 21 Desember 2009. hal 34
Huala Adolf. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers
No name. Terjemahan Resmi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay
Sugeng Santoso. “Mengapa PP Nomor 34 Tahun 1996 dapat Berlaku bagi Penyelidikan Ani Dumping dan Anti Subsidi?”. Warta Bea Cukai Tahun XL Edisi 418 September 2009
Srijanti, A. Rahman, Purwanto S.K., 2006, Etika Berwarga Negara, Jakarta: Penerbit Salemba Empat
Peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan
Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri dalam Negeri Akibat Lonjakan Impor
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indoensia Nomor 85/MPP/KEP/2/2003 tentang Tat Cata dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negri Akibat Lonjakan Impor