Kamis, 09 Desember 2010

BEA KELUAR UNTUK MENGATASI KELANGKAAN MINYAK GORENG

pendapat pribadi
ditulis januari 2008

BEA KELUAR UNTUK MENGATASI
KELANGKAAN MINYAK GORENG

                                                      Budi Nugroho
Widyaiswara Departemen Keuangan

            Minyak goreng kembali menjadi barang istimewa di negeri agraris yang  termasuk salah satu negara penghasil terbesar crude palm oil/CPO (bahan baku minyak goreng). Harga pasar dunia yang tinggi memicu para produsen CPO untuk mengekspor seluruh produknya. Harga pasar domestik tidak serta merta bisa mengikuti harga pasar dunia karena daya beli masyarakat yang rendah.

            Untuk menjamin tersedianya minyak goreng di dalam negeri, pemerintah menerapkan pungutan ekspor yang lebih dikenal sebagai pajak ekspor (PE) terhadap kelapa sawit dan produknya termasuk CPO. Pengenaan PE dipilih sebagai instrumen pengendali dibanding mekanisme pelarangan ekspor atau pemberlakuan kuota ekspor. Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2005 yang menjadi dasar pengenaan PE menyatakan bahwa PE dikenakan dengan tujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu di pasar internasional, atau menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri.

            PE dibayar oleh eksportir berdasarkan persentase tarif PE dan harga barang yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan dan disebut sebagai Harga Patokan Ekspor (HPE). Pada prinsipnya PE menjadi tanggungan eksportir dan pengenaannya diharapkan mampu mengerem niat produsen untuk mengekspor seluruh produknya sehingga ketersediaan barang di pasar domestik tetap terjamin. Beban pengenaan PE  tidak bisa dialihkan eksportir pada pihak lain. Harga pasar dunia telah terbentuk sehingga pengenaan PE tidak bisa dialihkan dengan menaikkan harga jual. Akhirnya PE mengurangi keuntungan yang diperoleh eksportir (produsen) yang didapat dari kenaikan harga pasar dunia.

            Beberapa tahun lalu ketika harga pasar dunia CPO melambung tinggi dan minyak goreng di pasar domestik harganya melambung begitu tinggi dan benar-benar langka, tarif PE-nya mencapai 50%. Para produsen tentu saja berkeberatan. Tidak sedikit pula yang mengajukan protes dengan argumen : petani mau kaya saja kok tidak boleh. Argumen itu sah-sah saja dan tampak make sense, namun pada kenyataannya keuntungan karena kenaikan harga pasar dunia itu tidak menetes sampai ke petani. Pada saat harga pasar dunia melambung tinggi ternyata harga di tingkat petani atau upah buruh pertanian kelapa sawit tidak mengalami kenaikan yang siknifikan.

            Sejauh ini walaupun telah dikenakan PE namun ketersediaan kebutuhan dalam negeri belum sepenuhnya terjamin. Kenaikan tarif PE bukan solusi tepat untuk menjawab kondisi itu. Perbedaan harga pasar dunia dengan harga domestik memerlukan penanganan yang bijaksana. Besaran tarif PE yang fleksibel selama ini cukup memadai untuk  mencapai target yang dituju yaitu ketersediaan produk di pasar domestik. Hanya saja tetap saja ada keluhan kelangkaan minyak goreng di berbagai tempat. Melihat tren yang selama ini terjadi, kelangkaan itu lebih disebabkan karena adanya pihak yang sengaja mengambil kesempatan di air keruh. Bukan tidak mungkin para pemburu untung menimbun stok untuk mengacaukan pasar. Penyelundupan ke luar negeri juga sangat mungkin terjadi.

            Perlilaku negatif itu bisa berdampak pada kenaikan tarif PE yang pada ujungnya akan mengurangi pendapatan para produsen CPO. Dari segi fiskal, penerimaan PE pada tahun 2006 mencapai 418,6 miliar rupiah. Jumlah yang tidak besar bila dibandingkan dengan penerimaan pajak perdagangan internasional yang mencapai 17 trilyun rupiah. Namun besaran itu bisa berubah bila kelangkaan terus terjadi sehingga tarif PE terus ditingkatkan. Perlu penanganan yang tepat agar hal tersebut tidak terjadi. Jangan sampai harus ditempuh langkah mundur dengan penerapan larangan ekspor atau penerapan kuota ekspor.

            Selama penegakan hukum masih lemah seperti kondisi saat ini maka kenaikan PE dalam beberapa segi justru akan kontrapoduktif. Para pemburu untung akan mengambil kesempatan itu sebagai peluang emas untuk melakukan penyelundupan ke luar negeri. Produsen yang jujur akan semakin dirugikan.

            Bila penerimaana negara sama sekali tidak menjadi dasar maupun  tujuan pengenaan PE, maka adalah sepantasnya kalau penerimaan PE digunakan secara langsung untuk menangani berbagai hal sebagaimana tujuan pengenaan PE itu.  Hal yang selama ini belum pernah dilakukan.

            Penggunaan semacam itu bukan lagi hal yang tabu. Undang-undang cukai nomor 11 tahun 1995 yang telah diamandemen dengan UU nomor 39 tahun 2007  menjadi contoh nyata. Penerimaan cukai yang mencapai 40 trilyun  dan merupakan pajak pusat, 2% dari penerimaan itu diserahkan pada Pemerintah Daerah produsen hasil tembakau dan akan digunakan salah satunya untuk mendanai pembinaan yang bermuara pada peningkatan penerimaan cukai. Undang-undang cukai yang secara eksplisit menyatakan pengenaan cukai memperhatikan prinsip kepentingan penerimaan negara, bisa memberlakukan ketentuan tersebut, maka hal serupa tentu dapat dilakukan pada pengenaan PE.

            Perkembangan terkini, sesuai amandemen Undang-undang kepabeanan nomor 17 tahun 2006, pengenaan PE akan digantikan dengan pemberlakuan Bea Keluar (BK). Pasal 2A Undang-undang Kepabeanan menyatakan terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. Tujuan pengenaan BK sama dengan tujuan pengenaan PE yang diatur dalam Peraturan Pemerintah  nomor 35 tahun 2005. Ketentuan mengenai pengenaan BK terhadap barang ekspor akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pada ketentuan peralihan dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang itu ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak  diundangkan tanggal 15 November 2006. Berdasarkan ketentuan itu maka Peraturan Pemerintah mengenai BK sebagai pengganti ketentuan mengenai peraturan pengenaan PE paling lambat akan mulai berlaku tanggal 15 November 2007.

            Semoga para penyusun Peraturan Pemerintah tentang BK mempertimbangkan kemungkinan pemakaian dana BK untuk penggunaan secara langsung pada berbagai hal yang berkaitan dengan komoditi yang dikenai BK mengingat sama dengan pengenaan PE, dasar hukum pemberlakuan BK juga tidak ada tujuan penerimaan neagara.

            Sebagai alternatif, dana BK yang didapat dari pengurangan pendapatan eksportir itu bisa digunakan untuk membiayai operasi pasar minyak goreng. Di tengah minimnya biaya penegakan hukum, dana BK bisa disalurkan kepada para penegak hukum untuk membiayai proses penanganan atas tindak pidana penyelundupan ekspor CPO. Sewajarnya pula bila dana BK kembali pada para produsen CPO atau petani kelapa sawit. Riset dan pengembangan pertanian serta teknologi pengolahan kelapa sawit sangat memerlukan dukungan dana, apalagi saat ini pertanian dan pengolahan kelapa sawit Indonesia tertinggal dibanding Malaysia walaupun Indonesia lebih awal memulainya. Pemberian subsidi pupuk atau pembangunan infrastruktur pertanian bisa menjadi pilihan. Para petani penggarap kelapa sawit? Sudah dapat diduga, sebagaimana petani pada umumnya, keterbatasan penghasilan menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan. Pembangunan sarana dan pendanaan operasioanl pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar sampai menengah layak diprioritaskan di pemukiman petani itu.

            Pengelolaan dana BK yang tepat sasaran akan bermuara pada peningkatan kesadaran para eksportir membayar BK. Masyarakat penerima dana BK dengan sendirinya akan turut berperan dalam upaya pencegahan penyelundupan ekspor barang kena BK. Semoga para ibu-ibu tidak perlu lagi antri untuk membeli minyak goreng atau berkeluh kesah karena harganya terus melambung. Semoga  dapur bisa terus ngebul.

- - 00 - -

1 komentar:

  1. bagaimana pendapat Bapak dengan PMK Bea Masuk Pangan Sudah Berlaku??

    BalasHapus